Informasi Kesehatan dan Tips Gaya Hidup Sehat

Friday, July 2, 2010

Cara Polisi Jerman Sosialisasikan Protes Tanpa Kekerasan Pada Pelajar
Polisi Jerman menenteng peralatan rompi pelindung badan mengunjungi berbagai sekolah menengah Jerman, agar para pelajar yang rentan bertindak anarkis itu mendukung gerakan protes tanpa kekerasan. Di saat mereka mencoba mengenakan helm baja, pelindung siku dan lutut milik polisi anti huru-hara itu, mereka semua berteriak, “Wow, cool!” Pak Polisi kemudian memungut sebuah batu dan diketokkan pada helm yang mereka kenakan, agar para remaja tersebut jelas untuk tidak berpawai 1 Mei dengan melakukan tindakan kekerasan melempar batu lagi.

Jangan mengira menjadi polisi di Berlin-Jerman itu enak. Tidak hanya sekedar mampu berpatroli, ilmu bela diri dan menangkap penjahat saja, namun masih harus mampu mengadakan perkemahan musim panas bagi pelajar sekolah menengah, mengorganisir anak muda bermain sepak bola, beranjangsana ke sekolah-sekolah menengah mensimulasikan “bagaimana rasanya dilempar batu ketika seorang polisi bertugas”, selain itu masih harus bermain drama bagi para manula dan lain sebagainya.

Ini memang tidak aneh, karena peran polisi yang hanya mampu menyelesaikan masalah sesudah tindak kriminalitas dilakukan terlebih dahulu, dialihkan pada keharusan mengantisipasi pelanggaran hukum, selain itu masih harus menggunakan metode Edutainment yang bisa diterima warga berbagai usia. Itulah mengapa polisi Berlin lantas berhasil menggembleng diri dan menguasai aneka ketrampilan.

Bolehkah demo “1 Mei” melempar batu ke polisi?

Misalnya dalam menghadapi kerusuhan dengan kekerasan yang dilakukan kaum kiri dalam demo 1 Mei (Hari Buruh Internasional) setiap tahun. Sejak 2005, polisi mulai menapaki seluruh sekolah menengah Berlin, untuk memberikan penjelasan kepada para pelajar mengenai permasalahan demonstrasi dan kekerasan, dengan harapan para remaja yang belum mengerti, tidak turun ke jalan dan melempar batu ke polisi. Tentu saja, yang paling baik tidak ikut sama sekali, dengan demikian tidak berisiko terluka atau ditangkap karena kesalah-pahaman. Pada kuartal pertama tahun ini saja, polisi Berlin telah mengunjungi 300 lebih sekolah.

Para polisi dalam memberikan pelajaran, biasanya menyimpang dari kurikulum resmi. Mereka lebih memanfaatkan rasa penasaran pelajar dan menggabungkan ilmu pengetahuan dengan pengalaman pribadi. Misalnya begitu pelajaran dimulai, polisi Berlin langsung bertanya pada 20-an murid sekolah menengah tersebut: “Bagaimana kalian merayakan 1 Mei?”

Sesudah terdiam sejenak, ia mendapat berbagai jawaban, “Demonstrasi”; “1 Mei boleh melempar batu ke polisi”; dan lain-lain. Nampaknya perilaku kekerasan yang terjadi setiap 1 Mei itu, membuat remaja keliru beranggapan bahwa pada hari tersebut diperbolehkan menggunakan kekerasan. Hal itu membuat Pak Polisi menggeleng-gelengkan kepala.

Mengenai pertanyaan lainnya yakni “Bolehkah setiap saat demo turun ke jalan?” Seorang murid menjawab: “Demonstrasi harus meminta izin terlebih dahulu, tetapi untuk 1 Mei tidak perlu.” Realitanya, setiap hendak berdemo dibutuhkan izin, asalkan bukan di beberapa wilayah tertentu yang dilarang berdemo (misalnya daerah perlindungan cagar budaya), perizinan demo dari polisi Berlin biasanya sangat cepat keluarnya.

Di Berlin, setiap hari selalu ada beberapa kumpulan massa yang melakukan demo dengan skala berbeda. Meski demo 1 Mei (yang siapa pun pasti tahu akan terjadi kekerasan), polisi harus memberikan izin, karena berdemo adalah hak setiap warga negara yang diatur konstitusi. Hanya saja polisi harus menggerakkan sejumlah besar bantuan dari luar kota, di satu pihak memberi perlindungan kepada warga yang berdemo, di lain pihak harus menghadapi orang yang bertindak anarkis dalam barisan itu.

Pertanyaan tentang bagaimana menemukan siapa yang telah melempar batu atau botol juga muncul di setiap kali pengajaran. Akan tetapi jawaban seorang pelajar membuat para polisi menggelengkan kepala: “Menangkapi semua orang, atau yang diduga melemparkan batu tersebut.”

Tentu saja, idealnya bisa melihat jelas si pelempar batu pada saat kejadian. Namun apabila terlempar dari kerumunan masa, maka polisi tidak mempunyai hak untuk menangkap seluruh orang, dalam situasi seperti itu tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa mengandalkan analisa dan penelitian pasca kejadian.

Mencoba rompi pelindung, merasakan dilempar batu

Para pelajar mencoba mengenakan rompi pelindung yang harus dikenakan polisi pada saat 1 Mei, termasuk helm anti huru-hara, pelindung siku, lutut dan lain-lain. Di dalam kasus kekerasan semacam ini pada dasarnya polisi Jerman mengambil sikap defensif, hanya apabila pihak lawan menggunakan cara kekerasan baru dicekal, selain itu juga hanya ditujukan kepada pelaku tindak kekerasan, tidak boleh melukai yang lain. Ini membawa kesulitan besar bagi pekerjaan polisi, angka terluka polisi juga sangat tinggi. Itulah mengapa keterandalan peralatan pelindung memegang peran sangat penting.

Biasanya bagi murid yang mengacungkan jari paling cepat, dapat menikmati “kehormatan” mengenakan rompi pelindung paling dulu. Mereka akan melompat-lompat kegirangan, namun setelah mengenakan rompi, kelincahan gerakannya langsung terhenti karena berat. Pak polisi lantas mengambil sepotong batu dan diketok-ketokkan ke helm yang dipakai pelajar tersebut. Meski kekuatannya jauh di bawah lontaran batu yang dilemparkan dari jarak 20 meteran, namun masih saja membuat pelajar itu merasakan, “Memang betul-betul tidak nyaman!”

Tujuan dialog masalah kekerasan 1 Mei dengan para pelajar sekolah menengah, agar para pelajar mengerti, polisi tidak menentang pawai dan perayaan 1 Mei, namun yang ditentang polisi adalah tindak kekerasan. Polisi di balik pakaian seragam, juga merupakan seorang manusia biasa yang punya rasa takut, dan berharap bisa pulang ke rumah dalam kondisi selamat.

Pada demo 1 Mei tahun lalu yang disertai kekerasan, terdapat tindak kekerasan total sebanyak 352 kasus, 54 di antaranya kaum pelajar. Dialog pihak polisi dengan pelajar menuai hasil partial, misalnya sejumlah pelajar ketika berjumpa lagi dengan para polisi yang pernah memberi pelajaran, lantas terjadi saling menyapa, bahkan menanyakan situasi 1 Mei tahun ini.

Bagi mereka polisi bukan lagi pihak lawan, juga bukan seseorang anonim di balik rompi pelindung yang melaksanakan perintah, melainkan seseorang yang memiliki nama, perasaan, keluarga, dan orang punya rasa takut juga. Menyuruh para pelajar untuk melontarkan batu ke tubuh orang yang demikian, di dalam nuraninya sudah tidak begitu menolerirnya.

Selain itu, pada 1 Mei tersebut, polisi juga mengorganisir para remaja yang kelebihan energi tersebut untuk bermain sepak bola di pusat kebugaran taruna, sekaligus menyediakan sebuah tes sensori simulasi agar pelajar mengalami bagaimana rasanya tatkala sebuah kendaraan dihancurkan.

Penyelesaian masalah tanpa kekerasan

Salah satu fokus kepolisian Berlin adalah problema kekerasan anak muda, karena anak muda dengan energi berlebihan bisa mengakibatkan mereka membuat kebodohan lantaran memiliki banyak waktu senggang, ini yang membuat pak polisi sakit ”kepala”.

Di balai kota atau di tempat umum lainnya acap kali ditemukan selebaran yang dibuat kepolisian, dilihat sekilas, tak mengira brosur itu berkaitan dengan polisi. Pada sampul brosur yang terlipat 3 itu tergambar seorang bocah berwajah komik, sejumput rambut di atas kepalanya mencuat ke atas, berkacamata hitam, alis dikerutkan, salah satu sudut mulut nyengir, bertampang keren yang standar, sedang dengan posisi setengah jongkok berdiri di atas skateboard meluncur kencang, judul gambar itu adalah “Cool Kid, accelerated” (Anak keren, tancap).

Sebetulnya ini adalah sebuah kelas belajar yang diadakan oleh polisi bagi anak-anak usia 12-14 tahun, mengajarkan kepada mereka bagaimana memanfaatkan waktu di luar jam sekolah, mengajarkan kepada mereka bagaimana berinteraksi dengan orang lain, selain itu juga menuntun mereka untuk menyadari bahwa ternyata tidak menggunakan kekerasan juga bisa menyelesaikan masalah, bahkan bisa dengan lebih baik menyelesaikan masalah.

Yang menarik ialah, contact person di atas brosur tidak ditulis kaku dengan Mr. atau Mrs X melainkan langsung dengan nama, seperti Diana, Markus dan lain-lain, pada detail-detail seperti ini, pihak kepolisian telah berupaya maksimal, dengan harapan lebih akrab lagi.

Polisi main drama untuk manula

Belakangan ini polisi Berlin di gedung opera mini milik pemerintah daerah, setiap minggu mementaskan drama kecil-kecilan: seorang nenek tua sedang menerima telepon di rumahnya. Terdengar suara seorang pemuda di pihak sana: “Oma, coba terka siapa saya?”

Sang nenek yang mendambakan telepon cucunya tentu menyebutkan nama sang cucu, padahal pemuda di seberang telepon tersebut sebetulnya bukan cucunya, melainkan seseorang yang hendak menipu uangnya, dengan demikian ia langsung mengetahui nama sesungguhnya. Ia lantas berkata lagi: “Sekarang saya ada di show room hendak membeli mobil, ternyata kartu kreditnya rusak. Bisakah Oma meminjamkan 5.000 euro kepada saya? …..wah, bagus sekali! Saya di sini sedang sibuk mengurus prosedur pembelian mobil, saya akan minta pacar saya mengambil uang, ia tidak begitu tinggi, berambut coklat tua…..”

Tentu saja sang oma, pemuda dan pacarnya diperankan oleh polisi. Drama dengan model sejenis itu sesuai untuk kaum manula, karena hal itu sangat realistis dan memberi kesan mendalam.
Sumber: http://www.eramuslim.com/
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Informasi Kesehatan dan Tips Gaya Hidup Sehat
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top