
Potensi guncangan gempa di Indonesia meningkat dua kali lipat sepanjang tahun 2002-2010. Di Aceh, pada tahun 2002 tingkat guncangan 0,2 g (gravitasi) menjadi 0,33 g pada tahun 2010. Kemudian di Padang, pada 2002 tingkat guncangan 0,25 g menjadi 0,32 g. Di pulau Jawa, tingkat goyangan meningkat dari 0,15 g menjadi 0,2 g. Yang juga meningkat adalah Ibukota Negara, Jakarta. Fakta bahwa Indonesia telah menjadi pasar gempa ini menjadi pembahasan serius dalam paparan Revisi Peta Gempa Indonesia 2010 oleh Tim 9 di Bina Graha, Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (16/7) yang difasilitasi oleh Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief.
Tim 9 ini sendiri terbentuk atas koordinasi Departemen Pekerjaan Umum, instansi pemerintah, akademisi dan kalangan profesi. Tim diketuai oleh Prof Masyhur Irsyam (Teknik Sipil ITB) dengan anggota: I Wayan Sengara (Teknik Sipil ITB), Fahmi Aldiamar (Litbang Jalan PU), Prof Sri Widiyantoro (Geofisika ITB), Wahyu Triyoso (Geofisika ITB), Danny Hilman (Geoteknologi LIPI), Engkon Kertapati (Pusat Penelitian Geologi), Dr Irwan Meilano (Geodesi ITB), Suhardjono (BMKG-Geofisika), M Asrurifak (Teknik Sipil ITB) dan M Ridwan (Litbang Permukiman PUN).
"Namun ada juga yang menurun. Misalnya di Lampung, dari 0,25 g pada tahun 2002 menjadi 0,2 g pada tahun 2010," kata Ketua Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010 , Masyhur Irsyam.
Tentang kemungkinan Ibukota Negara, Jakarta terjadi bencana mengemuka ketika salah satu anggota tim, Dr Danny Hilman mengungkapkan bahwa pada tahun 1699, Jakarta pernah dilanda gempa.
Sebuah catatan kuno menuliskan, sekitar 400 tahun lalu, gempa besar terjadi di Jakarta. Dahsyat untuk skala kekuatan gempa. Dan, gempa adalah kejadian alam yang berulang di wilayah alur gempa dengan probabilitas hitungan waktu yang tidak bisa diprediksi.
"Sayang, hanya ditemukan satu paragraf saja catatan sejarah kegempaan di Jakarta itu. Jadi, sampai hari ini kita belum tahu, apakah itu gempa sesar atau lainnya? Yang jelas, data itu ada," kata DR Danny Hilman Natawijaya, geoteknologi LIPI.
Apa yang disampaikan Dr Danny Hilman, dibenarkan oleh Ketua Tim 9 Prof Masyhur Irsyam. Bahwa, hasil studi PSHA (Probabilistic Seismic Hazard Analysis) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan percepatan puncak untuk spektra 0,2 detik dan 1,0 detik untuk kemungkinan terlampaui 10% dalam 50 tahun atau gempa 475 tahun di batuan dasar wilayah alur gempa, di sepanjang pantai barat Sumatera dan bagian selatan Jawa.
"Gempa bisa kita analisa dari sumbernya. Dari situ, kita bisa menghitung probabilitas percepatan rambatannya. Dengan data ini kita bisa menghitung goyangan gempa," kata Prof Masyhur.
Data bahwa Jakarta pernah terjadi gempa, bisa saja terjadi. "Meski, sampai hari ini belum ditemukan adanya fakta sesar aktif di Jakarta atau wilayah sekitarnya," kata Prof Masyhur.
Artinya, dilihat dari potensi sumber gempa, Jakarta memang tidak (belum) ditemukan adanya sumber gempa. Apakah itu sumber gempa tektonik atau sesar aktif. "Tapi, dengan terjadinya perubahan percepatan rambatan di batuan dasar, bisa memungkinkan Jakarta memiliki potensi goyangan gempa yang dekonstruktif," ujar Prof Mashyur.
Tak bisa dihindarkan, penyusunan Peta Bahaya Gempa di Indonesia menjadi penting. "Terutama untuk membuat Standar Nasional Indonesia terhadap konstruksi bangunan dan infrastruktur. Sebab, pada hakekatnya gempa ini tidak membunuh. Tapi, konstruksi dan infrastuktur yang tidak betul, membuka peluang terjadinya korban jiwa," tegasnya.
Sebagai contoh kasus, Prof Masyhur mengungkap kasus gempa bumi di Mexico City, bulan Juni 2010. "Saat itu, kekuatan gempa 6,5 Skala Richter. Sumber gempa berada di 41 kilometer utara Pinotepa Nacional, negara bagian Oaxaca. Nah, tempat itu lokasinya berada di sekitar 470 kilometer sebelah utara Mexico City," kata Prof Masyhur.
Tapi, karena percepatan batuan sendimen dasar bumi yang berubah, maka guncangannya lebih kuat dari magnituda gempa. "Dari penelitian yang pernah dilakukan, kawasan Jakarta Utara memiliki kondisi batuan dasar yang memungkinkan terjadinya percepatan rambatan. Jadi, bisa saja saat terjadi gempa tahun 1699, pusat gempanya tidak di Jakarta. Tapi di wilayah lain. Karena kondisi batuan dasar yang memungkinkan percepatan rambatan, maka guncangannya lebih kuat daripada kekuatan gempa di sumbernya," kata Prof Masyhur.
Sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/
Tim 9 ini sendiri terbentuk atas koordinasi Departemen Pekerjaan Umum, instansi pemerintah, akademisi dan kalangan profesi. Tim diketuai oleh Prof Masyhur Irsyam (Teknik Sipil ITB) dengan anggota: I Wayan Sengara (Teknik Sipil ITB), Fahmi Aldiamar (Litbang Jalan PU), Prof Sri Widiyantoro (Geofisika ITB), Wahyu Triyoso (Geofisika ITB), Danny Hilman (Geoteknologi LIPI), Engkon Kertapati (Pusat Penelitian Geologi), Dr Irwan Meilano (Geodesi ITB), Suhardjono (BMKG-Geofisika), M Asrurifak (Teknik Sipil ITB) dan M Ridwan (Litbang Permukiman PUN).
"Namun ada juga yang menurun. Misalnya di Lampung, dari 0,25 g pada tahun 2002 menjadi 0,2 g pada tahun 2010," kata Ketua Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010 , Masyhur Irsyam.
Tentang kemungkinan Ibukota Negara, Jakarta terjadi bencana mengemuka ketika salah satu anggota tim, Dr Danny Hilman mengungkapkan bahwa pada tahun 1699, Jakarta pernah dilanda gempa.
Sebuah catatan kuno menuliskan, sekitar 400 tahun lalu, gempa besar terjadi di Jakarta. Dahsyat untuk skala kekuatan gempa. Dan, gempa adalah kejadian alam yang berulang di wilayah alur gempa dengan probabilitas hitungan waktu yang tidak bisa diprediksi.
"Sayang, hanya ditemukan satu paragraf saja catatan sejarah kegempaan di Jakarta itu. Jadi, sampai hari ini kita belum tahu, apakah itu gempa sesar atau lainnya? Yang jelas, data itu ada," kata DR Danny Hilman Natawijaya, geoteknologi LIPI.
Apa yang disampaikan Dr Danny Hilman, dibenarkan oleh Ketua Tim 9 Prof Masyhur Irsyam. Bahwa, hasil studi PSHA (Probabilistic Seismic Hazard Analysis) menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan percepatan puncak untuk spektra 0,2 detik dan 1,0 detik untuk kemungkinan terlampaui 10% dalam 50 tahun atau gempa 475 tahun di batuan dasar wilayah alur gempa, di sepanjang pantai barat Sumatera dan bagian selatan Jawa.
"Gempa bisa kita analisa dari sumbernya. Dari situ, kita bisa menghitung probabilitas percepatan rambatannya. Dengan data ini kita bisa menghitung goyangan gempa," kata Prof Masyhur.
Data bahwa Jakarta pernah terjadi gempa, bisa saja terjadi. "Meski, sampai hari ini belum ditemukan adanya fakta sesar aktif di Jakarta atau wilayah sekitarnya," kata Prof Masyhur.
Artinya, dilihat dari potensi sumber gempa, Jakarta memang tidak (belum) ditemukan adanya sumber gempa. Apakah itu sumber gempa tektonik atau sesar aktif. "Tapi, dengan terjadinya perubahan percepatan rambatan di batuan dasar, bisa memungkinkan Jakarta memiliki potensi goyangan gempa yang dekonstruktif," ujar Prof Mashyur.
Tak bisa dihindarkan, penyusunan Peta Bahaya Gempa di Indonesia menjadi penting. "Terutama untuk membuat Standar Nasional Indonesia terhadap konstruksi bangunan dan infrastruktur. Sebab, pada hakekatnya gempa ini tidak membunuh. Tapi, konstruksi dan infrastuktur yang tidak betul, membuka peluang terjadinya korban jiwa," tegasnya.
Sebagai contoh kasus, Prof Masyhur mengungkap kasus gempa bumi di Mexico City, bulan Juni 2010. "Saat itu, kekuatan gempa 6,5 Skala Richter. Sumber gempa berada di 41 kilometer utara Pinotepa Nacional, negara bagian Oaxaca. Nah, tempat itu lokasinya berada di sekitar 470 kilometer sebelah utara Mexico City," kata Prof Masyhur.
Tapi, karena percepatan batuan sendimen dasar bumi yang berubah, maka guncangannya lebih kuat dari magnituda gempa. "Dari penelitian yang pernah dilakukan, kawasan Jakarta Utara memiliki kondisi batuan dasar yang memungkinkan terjadinya percepatan rambatan. Jadi, bisa saja saat terjadi gempa tahun 1699, pusat gempanya tidak di Jakarta. Tapi di wilayah lain. Karena kondisi batuan dasar yang memungkinkan percepatan rambatan, maka guncangannya lebih kuat daripada kekuatan gempa di sumbernya," kata Prof Masyhur.
Sumber: http://www.rakyatmerdeka.co.id/
0 comments