
Dzikrullah Wisnu Pramudya dan Santi Soekanto merupakan suami-istri yang turut merasakan suasana mencekam di Kapal Marvi Marmara. Kapal tersebut dibajak tentara Israel pada 31 Mei lalu saat menjalankan misi kemanusiaan ke Jalur Gaza. Dzikrullah sempat diberitakan menjadi salah seorang di antara sembilan korban meninggal dalam tragedi itu. Terik matahari membakar kulit lebih dari 600 relawan Gaza siang itu, 31 Mei 2010. Orang-orang lintas negara tersebut dijemur tentara Israel di teras geladak lantai 5 Marvi Marmara.
Perjalanan dari Turki menuju Gaza yang dilakukan para relawan kemanusiaan itu harus dibelokkan ke Ashdod, Israel. Pemerintah Israel menilai perjalanan kapal kemanusiaan ke Jalur Gaza tersebut ilegal dan harus digagalkan.
Di tengah terik matahari itu, beberapa relawan meminta waktu untuk diperbolehkan menjalankan ibadah salat duhur. Tapi, permintaan tersebut diabaikan pasukan negeri PM Benyamin Netanyahu itu. Mereka dipaksa melupakan kerinduannya untuk menghadap Sang Khalik siang itu.
Keheningan dan suasana mencekam di tengah perairan internasional tersebut tiba-tiba pecah. Suara azan terdengar dari mulut salah seorang relawan yang diborgol. Meski tak begitu keras, suaranya bisa terdengar di mana-mana.
“Itulah suara azan temerdu yang pernah saya dengar selama hidup,” ungkap Dzikrullah Wisnu Pramudya yang Selasa lalu (6/7) bertandang ke redaksi Jawa Pos (grup Sumut Pos) di Surabaya. Dia datang bersama istri, Santi Soekanto, dan para aktivis Sahabat Aqsha, lembaga yang peduli terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Dzikrullah dan Santi merupakan dua di antara ratusan relawan kemanusiaan yang berusaha sedikit memerdekakan rasa takut dan kesepian warga Gaza dari kezaliman Israel. Mereka membawa bantuan berupa bahan makanan dan uang untuk menghibur rakyat yang negaranya tak henti-henti mendapat embargo sewenang-wenang itu.
Tak disangka, suasana takut lebih dini justru menghampiri para relawan. Padahal, mereka belum mencapai Gaza yang kondisinya lebih mencekam daripada suasana di atas kapal kemanusiaan tersebut. Sejak selepas subuh hingga menjelang waktu asar, tentara Israel menodongkan moncong senjata api ke wajah mereka. Tiga helikopter perang dan puluhan speed boat dengan persenjataan lengkap turut mengawal Marvi Marmara yang tengah ’dibajak’ tentara Israel.
Marvi Marmara kemudian digiring ke dermaga Israel dan tiap penumpang diinterogasi dengan kasar. “Setelah diinterogasi, kami ditahan di sebuah penjara Israel yang besarnya sekitar tiga atau empat kali Lapas Cipinang,” ungkap Santi.
Di sel tahanan itulah para relawan menunggu nasib. Apakah akan dibebaskan Israel melalui jalur diplomasi atau akan ditahan tanpa pengadilan di penjara tersebut. “Saya sudah pasrah. Terlebih, Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan negeri itu,” ujar Dzikrullah.
Ternyata, takdir berkata lain. Mereka masih berkesempatan melihat tanah air. Diplomat dari Jordania yang bertindak selaku wakil Indonesia membebaskan Dzikrullah cs dari sel tahanan negeri Yahudi tersebut.
“Sore tanggal 1 Juni, saya menerima surat cinta dari istri yang sudah berjam-jam tidak saya jumpai sejak interogasi di dermaga. Surat itu disampaikan seorang diplomat Jordania dengan sembunyi-sembunyi,” kata mantan pemimpin redaksi majalah Suara Hidayatullah tersebut.
Surat Santi itu bertinta merah. Isinya sebenarnya bukan tentang asmara. Tapi, dia hanya minta ketegasan dari suaminya, “Ayah harus pilih, Istanbul atau Jordan.” Maksudnya, Dzikrullah diminta memutuskan tempat yang akan dituju selepas dari penjara Isreal tersebut.“Saat itu, kangen saya sudah menggebu, sehingga apa pun isi tulisannya saya anggap surat cinta dari dia,” terang Dzikrullah.
Meski menjalani interogasi ketat dari tentara Israel, pasutri tersebut bersyukur karena akhirnya bisa bebas dan kembali ke tanah air. Tidak hanya itu, dana bantuan yang mereka bawa dari Indonesia sebanyak 8.000 euro berkondisi aman. Selama perjalanan, uang itu disimpan di saku dalam rompi Dzikrullah. Uang tersebut rencananya digunakan untuk menyantuni anak-anak yatim di Jalur Gaza.
“Saya harus mempertahankan mati-matian agar uang tersebut tidak dirampas tentara Israel,” kenang aktivis yang cukup berpengalaman menangani misi-misi kemanusiaan di berbagai negara itu.
Selain membawa uang tunai, Dzikrullah dkk mengawal santunan lain dari warga Indonesia. Santunan tersebut berupa uang senilai 30.000 dolar AS. Namun, uang itu tidak dipegang langsung di tangan, melainkan disalurkan melalui lembaga kemanusiaan untuk Gaza yang berpusat di Damaskus, Syria. Bantuan dari Indonesia itu sedianya digunakan untuk membangun sumur-sumur baru bagi rakyat Palestina.
“Berdasar informasi yang kami peroleh, sebagian besar sumber air di Gaza tercemar logam berbahaya. Entah itu sengaja dicemari Israel atau tidak, wallahu a’lam,” ungkap Santi.
Mereka yakin bantuan puluhan ribu dolar Amerika tersebut aman. Lembaga kemanusiaan Damaskus itu terkenal amanah dan selalu berhasil menyalurkan bantuan ke pihak-pihak yang berhak menerima.
Meski begitu, Dzikrullah dan Santi berniat memastikan sampainya penyaluran santunan rakyat Indonesia itu bila mendapat kesempatan lagi untuk mengikuti misi kemanusiaan ke Gaza. “Kami tidak akan kapok bersilaturahmi ke Gaza. Misi kami belum selesai,” ujar Dzikrullah.
Dzikrullah dan relawan lain yakin tidak ada istilah “aman terkendali” selama perjalanan menembus garis blokade Israel. Negeri yang memproklamasikan kemerdekaan pada 1948 itu, meski dikutuk habis-habisan oleh dunia, tidak akan berhenti menebar ancaman kepada rakyat Palestina.
“Tapi, kami juga tak gentar menghadapi mereka. Kami akan terus berjuang bersama rakyat Palestina,” tegasnya.
Sumber: http://www.hariansumutpos.com/
Perjalanan dari Turki menuju Gaza yang dilakukan para relawan kemanusiaan itu harus dibelokkan ke Ashdod, Israel. Pemerintah Israel menilai perjalanan kapal kemanusiaan ke Jalur Gaza tersebut ilegal dan harus digagalkan.
Di tengah terik matahari itu, beberapa relawan meminta waktu untuk diperbolehkan menjalankan ibadah salat duhur. Tapi, permintaan tersebut diabaikan pasukan negeri PM Benyamin Netanyahu itu. Mereka dipaksa melupakan kerinduannya untuk menghadap Sang Khalik siang itu.
Keheningan dan suasana mencekam di tengah perairan internasional tersebut tiba-tiba pecah. Suara azan terdengar dari mulut salah seorang relawan yang diborgol. Meski tak begitu keras, suaranya bisa terdengar di mana-mana.
“Itulah suara azan temerdu yang pernah saya dengar selama hidup,” ungkap Dzikrullah Wisnu Pramudya yang Selasa lalu (6/7) bertandang ke redaksi Jawa Pos (grup Sumut Pos) di Surabaya. Dia datang bersama istri, Santi Soekanto, dan para aktivis Sahabat Aqsha, lembaga yang peduli terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Dzikrullah dan Santi merupakan dua di antara ratusan relawan kemanusiaan yang berusaha sedikit memerdekakan rasa takut dan kesepian warga Gaza dari kezaliman Israel. Mereka membawa bantuan berupa bahan makanan dan uang untuk menghibur rakyat yang negaranya tak henti-henti mendapat embargo sewenang-wenang itu.
Tak disangka, suasana takut lebih dini justru menghampiri para relawan. Padahal, mereka belum mencapai Gaza yang kondisinya lebih mencekam daripada suasana di atas kapal kemanusiaan tersebut. Sejak selepas subuh hingga menjelang waktu asar, tentara Israel menodongkan moncong senjata api ke wajah mereka. Tiga helikopter perang dan puluhan speed boat dengan persenjataan lengkap turut mengawal Marvi Marmara yang tengah ’dibajak’ tentara Israel.
Marvi Marmara kemudian digiring ke dermaga Israel dan tiap penumpang diinterogasi dengan kasar. “Setelah diinterogasi, kami ditahan di sebuah penjara Israel yang besarnya sekitar tiga atau empat kali Lapas Cipinang,” ungkap Santi.
Di sel tahanan itulah para relawan menunggu nasib. Apakah akan dibebaskan Israel melalui jalur diplomasi atau akan ditahan tanpa pengadilan di penjara tersebut. “Saya sudah pasrah. Terlebih, Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan negeri itu,” ujar Dzikrullah.
Ternyata, takdir berkata lain. Mereka masih berkesempatan melihat tanah air. Diplomat dari Jordania yang bertindak selaku wakil Indonesia membebaskan Dzikrullah cs dari sel tahanan negeri Yahudi tersebut.
“Sore tanggal 1 Juni, saya menerima surat cinta dari istri yang sudah berjam-jam tidak saya jumpai sejak interogasi di dermaga. Surat itu disampaikan seorang diplomat Jordania dengan sembunyi-sembunyi,” kata mantan pemimpin redaksi majalah Suara Hidayatullah tersebut.
Surat Santi itu bertinta merah. Isinya sebenarnya bukan tentang asmara. Tapi, dia hanya minta ketegasan dari suaminya, “Ayah harus pilih, Istanbul atau Jordan.” Maksudnya, Dzikrullah diminta memutuskan tempat yang akan dituju selepas dari penjara Isreal tersebut.“Saat itu, kangen saya sudah menggebu, sehingga apa pun isi tulisannya saya anggap surat cinta dari dia,” terang Dzikrullah.
Meski menjalani interogasi ketat dari tentara Israel, pasutri tersebut bersyukur karena akhirnya bisa bebas dan kembali ke tanah air. Tidak hanya itu, dana bantuan yang mereka bawa dari Indonesia sebanyak 8.000 euro berkondisi aman. Selama perjalanan, uang itu disimpan di saku dalam rompi Dzikrullah. Uang tersebut rencananya digunakan untuk menyantuni anak-anak yatim di Jalur Gaza.
“Saya harus mempertahankan mati-matian agar uang tersebut tidak dirampas tentara Israel,” kenang aktivis yang cukup berpengalaman menangani misi-misi kemanusiaan di berbagai negara itu.
Selain membawa uang tunai, Dzikrullah dkk mengawal santunan lain dari warga Indonesia. Santunan tersebut berupa uang senilai 30.000 dolar AS. Namun, uang itu tidak dipegang langsung di tangan, melainkan disalurkan melalui lembaga kemanusiaan untuk Gaza yang berpusat di Damaskus, Syria. Bantuan dari Indonesia itu sedianya digunakan untuk membangun sumur-sumur baru bagi rakyat Palestina.
“Berdasar informasi yang kami peroleh, sebagian besar sumber air di Gaza tercemar logam berbahaya. Entah itu sengaja dicemari Israel atau tidak, wallahu a’lam,” ungkap Santi.
Mereka yakin bantuan puluhan ribu dolar Amerika tersebut aman. Lembaga kemanusiaan Damaskus itu terkenal amanah dan selalu berhasil menyalurkan bantuan ke pihak-pihak yang berhak menerima.
Meski begitu, Dzikrullah dan Santi berniat memastikan sampainya penyaluran santunan rakyat Indonesia itu bila mendapat kesempatan lagi untuk mengikuti misi kemanusiaan ke Gaza. “Kami tidak akan kapok bersilaturahmi ke Gaza. Misi kami belum selesai,” ujar Dzikrullah.
Dzikrullah dan relawan lain yakin tidak ada istilah “aman terkendali” selama perjalanan menembus garis blokade Israel. Negeri yang memproklamasikan kemerdekaan pada 1948 itu, meski dikutuk habis-habisan oleh dunia, tidak akan berhenti menebar ancaman kepada rakyat Palestina.
“Tapi, kami juga tak gentar menghadapi mereka. Kami akan terus berjuang bersama rakyat Palestina,” tegasnya.
Sumber: http://www.hariansumutpos.com/
0 comments